Minggu, 12 April 2009

Tanggul Jebol, Salah Siapa?



“Aku bahagia… Hidup sejahtera di Khatulistiwa. Alam berseri-seri bunga beraneka, mahligai rama-rama…”

(Zamrud Khatulistiwa, Guruh Soekarno Putra)

Zamrud Khatulistiwa. Saya yakin yang mengaku sebagai Warga Negara Indonesia tahu pasti kepada siapa julukan itu diberikan. Indonesia memang penuh sejuta kekayaan alam. Hamparan laut yang luas, pegunungan yang membentang, tumbuh-tumbuhan beraneka rupa, hutan yang hijau… Tak berlebihan memang jika julukan tersebut melekat. Tak ada yang tak ada di Indonesia. Sumber daya alam diberikan oleh Tuhan dengan berlimpah ruah, sampai-sampai dulu saja penjajah berbondong-bondong datang ke Indonesia demi menikmatinya. Kekayaan alam Indonesia memang penuh pesona.

Tapi, lihatlah sekarang. Laut sudah tercemar, tumbuhan banyak yang mati, hutan dibabat disana-sini… Alam mulai berubah. Tak bersahabat, banyak orang berpendapat demikian. Tak sepenuhnya beban tersebut kita lepaskan begitu saja kepada alam, karena menurut saya, kita manusia juga turut andil dalam kerusakan yang ada.

Baru-baru ini, kita dihebohkan dengan tragedi yang terjadi di daerah Cireundeu, Tangerang Selatan. Tanggul Situ Gintung jebol. Air didalamya meluap keluar layaknya air bah , menewaskan banyak orang dan merugikan banyak pihak. Begitu mengerikannya, sampai-sampai ada yang berpendapat tragedi Situ Gintung sebagai ‘Tsunami kedua’, seperti yang pernah terjadi di Aceh. Orang panik, alam marah, katanya. Benarkah demikian?

Jika mau ditengok, jebolnya tanggul Situ Gintung tak lepas dari ulah manusia juga, meski memang tak dipungkiri pula bahwa tanggul tersebut sudah tua, sekitar setengah abad umurnya, sehingga masuk akal jika suatu saat mengalami kerusakan. Tanggul ini dibuat pada saat pemerintahan Belanda. Saya pernah baca dalam sebuah artikel, yang mempertanyakan tentang apakah jebolnya benar disebabkan oleh curahan hujan? Karena jika demikia, mengapa baru sekarang? Tentu saja hujan lebat disana tidak hanya dalam sekali, bukan?

Selain itu, kemungkinan juga karena faktor umur dan lain-lain, tanggul tersebut menjadi berkurang daya tampung air dan juga tanahnya. Terlebih-lebih, disekitar tanggul juga sudah terdapat pembangunan dimana-mana, seperti misalnya pembangunan pemukiman warga, yang menyebabkan daya tampung tanggul menjadi menurun.

Amat disayangkan sekali, tanggul sebagai salah satu sumber daya air yang telah digunakan sejak jaman dulu, justru jebol dikala air menjadi hal yang mahal saat ini. Menjadi suatu pembelajaran bagi kita manusia, bahwa kita harus mampu melestarikan segala kekayaan alam yang ada di Indonesia, karena ini merupakan harta Indonesia yang sangat bernilai. Kita harus bertindak untuk merawatnya, atau semua akan hancur sia-sia.

Jadi, apa pilihan Anda? (XIS1/11)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar